
Tepat hari ini, setahun kemarin.. Saya dan suami masih berada di Penang. Kami berdoa dan sujud, meminta kelancaran proses Embryo Transfer yang akan kami lakukan esok paginya.
Malam itu, kami pasrah. Semoga saja embrionya bagus kualitasnya, semoga saja besok semua lancar, semoga saja kami bisa pulang ke Jakarta dengan selamat dan membawa kabar bahagia. Kami belum tau berapa embrio yang dihasilkan oleh laboratorium di Loh Guan Lye Specialist Center (LSC). Berapa pun jumlahnya, yang penting semua lancar dan mudah-mudahan menjadi calon keturunan kami.
Seperti biasa jika pagi hari kami harus ke LSC, pasti kami sudah bangun pukul 6 pagi. Pagi itu mendung seperti hari-hari sebelumnya, saya membawa syal untuk menghangatkan leher dan bahu saya. Selama perjalanan dari homestay ke LSC, saya hanya berdoa, berdoa dan berdoa sambil mengamati pemandangan yang kami lewati.
Sesampai di LSC, kami tak perlu menunggu lama sampai akhirnya saya harus masuk ke ruang operasi. Ruang operasi tidak terasa asing lagi bagi saya, begitu juga orang-orang di dalamnya. Bahkan beberapa staff ingat dengan wajah saya, menyapa dan berkata, “Saya ingat kamu, kamu yang waktu itu operasi besar sekali kan?”
Saya tersenyum setiap mengingat proses laparotomy yang pernah saya alami. Kejadian yang selalu saya syukuri, karena saya hampir dalam kondisi kritis. Kalau saya tidak mengalami hal tersebut, saya tidak akan gigih dan kuat seperti sekarang.
Jennifer menghampiri saya yang sedang berbaring di kasur, menunggu giliran masuk ke ruang operasi. Ia bertanya-tanya soal kegiatan saya, bagaimana cara saya bekerja dan apa yang suami saya kerjakan di Jakarta. Sangking serunya bercerita, saya sampai lupa bertanya berapa jumlah embrio saya!
Saya antara percaya-gak-percaya saat Jennifer menjawab, “Ada empat! Dua dengan kualitas Excellent, dua dengan kualitas Good.”
“Wow! Itu bagus atau biasa saja?”
“Untuk kasus pasien seperti kamu, hasilnya bagus banget. Jarang yang dapat Excellent sampai 2 embrio. Biasanya hanya Good saja.”
Sesampainya di ruang operasi, saya melihat sudut kiri atas dimana terdapat layar yang memajang dua embrio kami. Dua calon buah hati kami. Dua buah calon malaikat kami. Mungkin dua, mungkin juga hanya jadi satu.
Jumlah bukan jadi masalah saat itu, yang penting saya bisa dititipkan keturunan yang lahir sehat dan sempurna.
Saya berkata pada dr. Devindran, “Doc, please pray for me.”
“Always,” katanya sambil menepuk lengan saya.
***
Tak terasa kejadian itu sudah setahun yang lalu. Saya tidak akan pernah lupa dengan kejadian satu tahun yang lalu, saya tidak akan pernah membuang jauh-jauh memori itu. Karena proses yang sudah kami jalani adalah turning point kami sebagai dua manusia yang telah menjadi satu.
Proses dimana kami menjadi semakin kuat, saling mendukung dan percaya satu sama lain. Kami juga semakin mencintai, semakin bersyukur karena selalu melewati berbagai cobaan bersama-sama. Susah senang selalu bersama.
Sampai detik ini, rasanya masih seperti mimpi melihat Aura Suri tidur di tengah-tengah kami. Kaki kecilnya sering menendang kami tengah malam. Ketika kami angkat dari tempat tidur, ia tersenyum lebar sambil menghentak-hentak tangannya, seperti berkata, “Terima kasih Papa Mama, sudah bangun malam-malam.”
Ia adalah sosok yang selalu kami mimpikan, sosok yang selalu menguatkan kami di kala susah maupun senang. Sosok yang membuat kami tak pernah mengenal lelah, sosok yang selalu menginspirasi orang banyak agar tak pernah menyerah.
Terima kasih Tuhan, sudah mengirimkan Abenk dan Aura Suri dalam kehidupanku.
Good night.
No comments:
Post a Comment